"Ciek"
Tak
perlu ditanyakan mengapa aku ingin kesana malam-malam, tepi sungai Tampulan
yang tenang dan gelap, semua karena kerinduanku kawan, rindu akan masa dimana aku
adalah bagian dari segerombolan remaja yang menyebrang sungai setiap sore, saat
langit mulai kuning keemasan disenja hari, membawa puluhan bubu dari botol
minuman mineral, lengkap dengan asam durian yang dibungkus kain didalamnya, sekantong plastik nasi hangat dengan goreng
ikan beledang kering didalmnya, dimasukkan tanpa menggunakan plastik yang
berbeda sehingga nasi hangat tersebut berwarna merah diresapi minyak sambal beledang, aku merindukan saat dimana
kita menggigit bagian bawah kantong plastik bekal kita masing-masing hingga
membuat sebuah lubang, kemudian mengenggam plastik tersebut dengan erat untuk
memaksa nasi keluar pada robekan
tersebut.
Aku
tidak akan lupa sarung kotak-kotak yang kita bawa masing-masing, yang
sepertinya saat itu para penenun sarung hanya mengenal motif kotak-kotak,
sehingga tak ada diantara kita yang membawa sarung dengan motif lain, saling berpacu
dengan waktu magrib untuk memasang bubu di pinggir sungai Tampulan, serta membuat
saluran air agar ikan sidideh
mengikuti aliran air beraroma asam durian tersebut, puluhan sidideh
itu akhirnya terperangkap sampai pagi dalam bubu buatan tangan kita.
Aku
merindukan saat-saat kita shalat magrib diatas susunan batu-batu sungai yang
licin dan terasa dingin saat menyentuhkan kening saat sujud, aku rindu menyusun batu-batu
sebesar betis hingga paha diatas pasir-pasir halus membentuk sebuah persegi
panjang menghadap kiblat, aku ingat kawan, ketika disini aku pertama kali mengetahui akan rasa sebatang rokok, yang hanya ingin tahu kebenaran kata orang bahwa rokok sangat nikmat setelah kekenyangan, saat bersama menatap
langit yang cerah lalu bersorak girang jika melihat ada sebuah bintang bergerak diangkasa
seperti sebuah meteor, merindukan saat aku mengangkat bubu-bubu tersebut
sebelum subuh menjelang, menyimpan ikannya dalam toples yang telah dilubangi dengan api
obat nyamuk, meletakan toples-toples berisi ratusan ikan dideh itu didalam parit agar bertahan hidup hingga hari pasar
datang, dan aku ingat kawan bila hari kamis yaitu hari kebesaran datang, sebelum azan subuh
berkumandang, kita sudah bergegas pulang membawa tangkapan dideh bersama puluhan lembar daun keladi sebagai pembungkus ikan
sebelum dikirim kepasar.
Aku
sungguh merindukannya kawan, merindukan saat dimana tak ada beban kedewasaan
yang kita pikul, kini aku menatap ragu dari persimpangan jalan yang diterangi
lampu jalan, merasa ragu untuk terus kesungai yang gelap, karena lampu jalan
sudah tak mampu menjulurkan lembaran cahayanya sampai kepinggir sungai yang
cukup jauh.
Tidak
terlalu curam namun harus kulewati dengan sedikit merangkak karena aku tak
dapat melihat jalan yang sedang kutapaki, dan aku tau aku sudah mendekati bibir
sungai, setelah meraba-raba dan merasakan pasir-pasir yang dingin mulai
menyelinap disela-sela jari kakiku. Dua meter melewati pasir yang lembut aku
merasakan air dingin pinggir sungai Tampulan merasuk hingga menenangkan jiwa
yang kemarau, segera kutarik bagian bawah celana jeans yang kukenakan. Sejenak
aku berbalik badan menatap lampu jalan yang menyinari jalan sepi yang telah
kulewati, seperti sebuah lampu sorot panggung yang sedang menunggu, menunggu
para seniman untuk menunjukan sebuah keindahan dari beragam kisah kehidupan.
Dan akupun menyadari meski tak dapat
merasakannya, seperti yang kupelajari dalam matapelajaran Biologi SMA, saat
dimana pupil mataku mulai melebar untuk menangkap semua cahaya yang tersisa
ditempat-tempat gelap sehingga mata berusaha menangkap setiap bayangan
disekitarnya. Ternyata aku telah melewati tak kurang dari delapan tumpukan
batu-batu milik para kuli angkut, yang diangkat saban hari dari dalam sungai tampulan
dengan bekal otot bisep dan trisep di lengan mereka, diangkut dan ditumpuk dipinggir
sungai untuk dijual kepada sopir truk-truk, lalu diantar ketempat dimana para
penggiat pembangunan bekerja sekedar memenuhi janji kampanye mereka. Secara tak
sengaja aku telah menyisiri satu persatu tumpukan tersebut tanpa melihatnya,
salah satu tumpukan disusun setinggi lututku seolah akan membuat tumpukan
seperti ka’bah tanpa pintu dan tanpa ruang didalamnya, kudekati dan disanalah
akhirya kusandarkan tubuhku, menatap bayang-bayang dua pohon pinang tinggi
menjulang berdansa bersama angin kerinduan, berdiri gontai diantara pematang-pematang
sawah diseberang sungai, bergerak lembut kekiri lalu melentik kekanan berzikir
tanpa suara, mengucap asmaa-NYA bersama lantunan ayat suci Al-qur’an,
berkumandang dari suara tadarusan muda-mudi dimalam lailatul qadar dan tambah menakjubkan lagi, dikiri agak jauh dibelakang
pohon pinang yang tinggi kulihat sebuah pohon kapas rimbun tak berdaun,
dahan-dahannya melambai-lambai seperti sedang memanggil malaikat pencabut
nyawanya, pohon-pohon yang kuceritakan tadi kawan ternyata telah berjanji bertemu
malam ini dengan jutaan bintang, mengiasi
luasnya semesta dan menjadi latar belakang pertunjukan tersebut, seperti
kunang-kunang berlomba mengedipkan mata menggoda para pujangga sepertiku, meski
tanpa kehadiran permata langit, bergelar kekasih bumi bernama sang rembulan,
mereka semua tetap memberikan segenap keindahannya dimalam ke-dua puluh tujuh
Ramadhan ini, malam yang bahkan lebih baik bila dibandingkan dengan masa
seribubulan. Nikmatnya yang mana yang akan kau dustakan??
Menatap
keindahan seperti itu sendirian, kau pasti tau kawan siapa yang selalu
berambisi membangun benteng kesesatan untuk orang yang mulai memahami makna
kehambaannya. Siapa yang mebisikan rayuan akan keindahan yang lebih menakjubkan
bagi orang-orang yang mulai menyadari akan kebesaran peran sang pencipta dalam
hidupnya. Begitu juga malam ini kawan dengan bisikan bahwa kerinduan akan
seseorang juga dianggap sebuah nikmat tuhan, tak banyak yang mampu kupilah dan
kubedakan antara nikmat tuhan dan nafsu kemanusiaan. Hingga kulukiskan wajah
seseorang seperti menemukan dan menerjemahkan sebuah rasi bintang baru dilangit
yang gemintang, hingga terlukis sebuah paras nan elok, dengan senyum termanis
penuh ketulusan yang pernah diberikan manusia kepadaku, aku terpejam melupakan
kenyataan dan berangan-angan, aku berhasil menodai iman dengan harapan yang
datang dari setitik noda hitam dihati, yang akhirnya bermuara kelubuk
kejahilan.
Lalu
dedaunan menyadarkanku, berkongsi dengan angin memutuskan tangkainya lalu
terbang hingga mengusap wajahku, daun bambu yang gemerisik seakan iri pada
batangnya sendiri karena batangnya ikut andil menjadi harmoni indah dalam
pertunjukan seni malam itu, bahkan seolah ia juga iri kepadaku karena
diperbolehkan menatap dunia dan bermimpi, kemudian ia menyelesaikan satu
takdirnya sebagai pemudar anganku,daun yang membelaiku menyampaikan pesan
kebijaksanaan kepadaku, bahwa aku tak jauh berbeda dengannya, dan mengatakan
bahwa kezuhudan memang tak semudah yang dibayangkan.
Harta,
tahta dan wanita masih menjadi bumerang bagi pemuda beriman, senjata bagi
syaitan untuk bernego dengan penuh logika pembenaran. Aku teringat akan pesan
seorang teman, jika seorang pemuda telah jatuh pada telaga cinta, namun takut
akan berdosa karenanya, ia bisa memilih mengakhiri kesendiriannya dengan segera
menikah, atau memilih menyibukan diri, berkumpul dan mendengarkan kisah
orang-orang saleh. Tapi aku, belum memiliki kesanggupan lahir dan batin untuk
pilihan pertama, dan untuk pilihan kedua, kenyataannya aku telah terjebak dalam
kesendirian dan berangan-angan dipinggir sungai ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar