Minggu, 16 Agustus 2020

Membangun Indonesia melalui Dunia Pendidikan dengan Pembelajaran dalam Jaringan yang Efektif dan Menyenangkan

 Membangun Indonesia melalui Dunia Pendidikan dengan Pembelajaran dalam Jaringan yang Efektif dan Menyenangkan

 Perkenalkan saya Muhamad Yani, guru Bimbingan dan Konseling di SMAN 1 Pagai Selatan, saya bisa menebak bahwa hampir semua pembaca tidak pernah mendengar nama sekolah tempat saya mengabdi, kecamatan Pagai Selatan yang menjadi salah satu kecamatan di garis terdepan Indonesia menantang Samudera Hindia, bertatapan langsung dengan pulau Madagaskar di pesisir timur Afrika, Pagai Selatan juga merupakan sebuah pulau paling ujung di gugusan Kepualauan Mentawai.

Bagiku, meski dengan semua keterbatasan di tempat ku mengabdi, walaupun butuh satu setengah hari dari kota Padang untuk sampai di sekolah kami, itupun kalau cuaca sedang baik-baik saja, kadang-kadang butuh satu hari satu malam di aduk badai di lautan untuk sampai di tempat tujuan, sesampai di pelabuhan jangan harap dapat bersantai karena mengira sudah sampai di sekolah kami, butuh 37 kilometer menakhlukan tanah merah, hutan sunyi  dan batuan karang untuk bertemu dengan siswa-siswa istimewa kami. Bertemu para pejuang pendidikan dengan lampu lentera di setiap malamnya sebagai penerangan dalam pondok-pondok yang mereka huni.

Tersenyum, ya... tersenyum adalah hal pertama yang saya lakukan ketika mendapat informasi mengenai lomba menulis dengan tema  belajar daring yang efektif dan menyenangkan, saya tersenyum karena informasi yang disampaikan jauh dari kata sesuai dengan kami di daerah terdepan Indonesia ini, si gagah yang menghadap benua lain ini belum sanggup mengendalikan zaman, terseok-seok untuk ikut campur dalam pembangunan peradaban berbasis IT, sekolah kami memang memiliki unit komputer, namun tak memiliki akses jaringan internet, tidak memiliki jaringan listrik untuk sekedar belajar membuat email di komputer sekolah, kami hanya bisa mengandalkan mesin genset yang harus menggunakan alasan urgen untuk sekedar menyalakannya satu atau dua jam saja.

Senyum saya tersimpul karena banyak hal, salah satunya karena merasa lucu saja dengan kondisi kami yang di tuntut dunia luar begitu berat, bersyukur karena menyadari bahwa setidaknya tidak semua sisi di negara ini sedang berada dalam kondisi miris layaknya kami, setidaknya orang lain di luar sana yang masih menjadi bagian dari bangsa ini terus melaju, bayangakan saja beratnya menggunakan kalimat ”orang lain di luar sana” dalam percakapan padahal kenyataannya kita semua satu, namun kenyataan dan perasaan tersisih tak dapat kami buang begitu saja.

Partisipasi dan Inovasi yang kami berikan untuk bangsa ini dalam dunia pendidikan saat wabah covid-19 melanda mungkin tidak sebanding dengan apa yang orang lain lakukan, disini jangankan mengiringi laju pendidikan berbasis IT yang begitu melesat, kami mencoba sekuat tenaga utuk bertahan dan tidak terlindas, tetap datang kesekolah meski berjarak 5 kilo meter berjalan kaki, bangun dan beraktifitas hingga membangunkan ayam untuk berkokok di pagi hari, berpacu dengan mentari pagi supaya tidak terus menerus tertinggal dari orang lain. Belajar daring mungkin belum menjadi kebutuhan kami, belum sanggup kami terapkan, hanya saja kami tidak bisa menerima tanpa usaha dalam ketertinggalan sekali lagi.

Lalu bagaimana dengan PBM kami? Belajar menggunakan gawai menjadi pilihan terakhir bagi kami, gawai hanya dimiliki oleh satu atau dua orang siswa, jaringan telkomsel hanya ada di radius satu kilometer dari lokasi sekolah, sekolah kami belum membutuhkan inovasi lanjutan untuk membuat kelas daring yang menyenangkan, inovasi yang kami kejar adalah menyediakan media daring bagi siswa-siswa kami, memanfaatkan satu atau dua gawai yang ada, kenyataannya jika mereka berhasil mengirim tugas melalui aplikasi messenger gratis saja sudah membesarkan hati mereka, dengan begitu kelas menyenangkan sudah kami dapatkan, namun jika memikirkan pembelajaran efektif, mengejar tuntutan kurikulum, langkah terbaik yang kami pilih adalah mengantar tugas secara bergantian dan terjadwal kerumah masing-masing guru.

Para guru telah melakukan apa yang mungkin bisa dilakukan, meminta satu gawai mengirimbanyak tugas, menggunakan sistem antar tugas melalui satu orang, tidak sanggup untuk benar-benar taat terhadap protokol kesehatan. Jika seandainya kita bertemu nanti, atau kalian bertemu dengan orang lain yang sama seperti kami, bermurah hatilah dalam mengajarkan banyak hal kepada kami, berbagilah dengan ilmu yang sudah kalian miliki dalam kesabaran, kita memang sama berproses, namun proses kita jauh berbeda, kami sangat menyadari ketertinggalan kami, selain semangat bertahan dan berjuang yang kami latih selama ini, tidak ada lagi modal yang bisa kami banggakan untuk membela bangsa ini di hari kemudian, seiap kejadian pasti ada hikmahnya, begitupun bagi kami yang berada di daerah terpencil. dirgahayu kemerdekaan Republik Indonesia, Indonesia tetap maju meski kami belum sanggup melesat seperti yang banyak orang perbuat. Salam damai untuk Indonesia Satu.

Sabtu, 25 Juli 2015

Novel Di Ufuk Istiqomah (Mohammed Yani Tanjuang)


"Ciek"
Tak perlu ditanyakan mengapa aku ingin kesana malam-malam, tepi sungai Tampulan yang tenang dan gelap, semua karena kerinduanku kawan, rindu akan masa dimana aku adalah bagian dari segerombolan remaja yang menyebrang sungai setiap sore, saat langit mulai kuning keemasan disenja hari, membawa puluhan bubu dari botol minuman mineral, lengkap dengan asam durian yang dibungkus kain didalamnya,  sekantong plastik nasi hangat dengan goreng ikan beledang kering didalmnya,  dimasukkan tanpa menggunakan plastik yang berbeda sehingga nasi hangat tersebut berwarna merah diresapi minyak sambal beledang, aku merindukan saat dimana kita menggigit bagian bawah kantong plastik bekal kita masing-masing hingga membuat sebuah lubang, kemudian mengenggam plastik tersebut dengan erat untuk memaksa nasi keluar pada  robekan tersebut.
Aku tidak akan lupa sarung kotak-kotak yang kita bawa masing-masing, yang sepertinya saat itu para penenun sarung hanya mengenal motif kotak-kotak, sehingga tak ada diantara kita yang membawa sarung dengan motif lain, saling berpacu dengan waktu magrib untuk memasang bubu di pinggir sungai Tampulan, serta membuat saluran air agar ikan sidideh mengikuti aliran air beraroma asam durian tersebut,  puluhan sidideh itu akhirnya terperangkap sampai pagi dalam bubu buatan tangan kita.
Aku merindukan saat-saat kita shalat magrib diatas susunan batu-batu sungai yang licin dan terasa dingin saat menyentuhkan kening saat sujud, aku rindu menyusun batu-batu sebesar betis hingga paha diatas pasir-pasir halus membentuk sebuah persegi panjang menghadap kiblat, aku ingat kawan, ketika disini aku pertama kali mengetahui akan rasa sebatang rokok, yang hanya ingin tahu kebenaran kata orang bahwa rokok sangat nikmat setelah kekenyangan, saat bersama menatap langit yang cerah lalu bersorak girang jika melihat ada sebuah bintang bergerak diangkasa seperti sebuah meteor, merindukan saat aku mengangkat bubu-bubu tersebut sebelum subuh menjelang, menyimpan ikannya dalam toples yang telah dilubangi dengan api obat nyamuk, meletakan toples-toples berisi ratusan ikan dideh itu didalam parit agar bertahan hidup hingga hari pasar datang, dan aku ingat kawan bila hari kamis yaitu hari  kebesaran datang, sebelum azan subuh berkumandang, kita sudah bergegas pulang membawa tangkapan dideh bersama puluhan lembar daun keladi sebagai pembungkus ikan sebelum dikirim kepasar.
Aku sungguh merindukannya kawan, merindukan saat dimana tak ada beban kedewasaan yang kita pikul, kini aku menatap ragu dari persimpangan jalan yang diterangi lampu jalan, merasa ragu untuk terus kesungai yang gelap, karena lampu jalan sudah tak mampu menjulurkan lembaran cahayanya sampai kepinggir sungai yang cukup jauh.
Tidak terlalu curam namun harus kulewati dengan sedikit merangkak karena aku tak dapat melihat jalan yang sedang kutapaki, dan aku tau aku sudah mendekati bibir sungai, setelah meraba-raba dan merasakan pasir-pasir yang dingin mulai menyelinap disela-sela jari kakiku. Dua meter melewati pasir yang lembut aku merasakan air dingin pinggir sungai Tampulan merasuk hingga menenangkan jiwa yang kemarau, segera kutarik bagian bawah celana jeans yang kukenakan. Sejenak aku berbalik badan menatap lampu jalan yang menyinari jalan sepi yang telah kulewati, seperti sebuah lampu sorot panggung yang sedang menunggu, menunggu para seniman untuk menunjukan sebuah keindahan dari beragam kisah kehidupan.
Dan akupun menyadari meski tak dapat merasakannya, seperti yang kupelajari dalam matapelajaran Biologi SMA, saat dimana pupil mataku mulai melebar untuk menangkap semua cahaya yang tersisa ditempat-tempat gelap sehingga mata berusaha menangkap setiap bayangan disekitarnya. Ternyata aku telah melewati tak kurang dari delapan tumpukan batu-batu milik para kuli angkut, yang diangkat saban hari dari dalam sungai tampulan dengan bekal otot bisep dan trisep di lengan mereka, diangkut dan ditumpuk dipinggir sungai untuk dijual kepada sopir truk-truk, lalu diantar ketempat dimana para penggiat pembangunan bekerja sekedar memenuhi janji kampanye mereka. Secara tak sengaja aku telah menyisiri satu persatu tumpukan tersebut tanpa melihatnya, salah satu tumpukan disusun setinggi lututku seolah akan membuat tumpukan seperti ka’bah tanpa pintu dan tanpa ruang didalamnya, kudekati dan disanalah akhirya kusandarkan tubuhku, menatap bayang-bayang dua pohon pinang tinggi menjulang berdansa bersama angin kerinduan, berdiri gontai diantara pematang-pematang sawah diseberang sungai, bergerak lembut kekiri lalu melentik kekanan berzikir tanpa suara, mengucap asmaa-NYA bersama lantunan ayat suci Al-qur’an, berkumandang dari suara tadarusan muda-mudi dimalam lailatul qadar dan tambah  menakjubkan lagi, dikiri agak jauh dibelakang pohon pinang yang tinggi kulihat sebuah pohon kapas rimbun tak berdaun, dahan-dahannya melambai-lambai seperti sedang memanggil malaikat pencabut nyawanya, pohon-pohon yang kuceritakan tadi kawan ternyata telah berjanji bertemu malam ini dengan jutaan bintang,  mengiasi luasnya semesta dan menjadi latar belakang pertunjukan tersebut, seperti kunang-kunang berlomba mengedipkan mata menggoda para pujangga sepertiku, meski tanpa kehadiran permata langit, bergelar kekasih bumi bernama sang rembulan, mereka semua tetap memberikan segenap keindahannya dimalam ke-dua puluh tujuh Ramadhan ini, malam yang bahkan lebih baik bila dibandingkan dengan masa seribubulan. Nikmatnya yang mana yang akan kau dustakan??
Menatap keindahan seperti itu sendirian, kau pasti tau kawan siapa yang selalu berambisi membangun benteng kesesatan untuk orang yang mulai memahami makna kehambaannya. Siapa yang mebisikan rayuan akan keindahan yang lebih menakjubkan bagi orang-orang yang mulai menyadari akan kebesaran peran sang pencipta dalam hidupnya. Begitu juga malam ini kawan dengan bisikan bahwa kerinduan akan seseorang juga dianggap sebuah nikmat tuhan, tak banyak yang mampu kupilah dan kubedakan antara nikmat tuhan dan nafsu kemanusiaan. Hingga kulukiskan wajah seseorang seperti menemukan dan menerjemahkan sebuah rasi bintang baru dilangit yang gemintang, hingga terlukis sebuah paras nan elok, dengan senyum termanis penuh ketulusan yang pernah diberikan manusia kepadaku, aku terpejam melupakan kenyataan dan berangan-angan, aku berhasil menodai iman dengan harapan yang datang dari setitik noda hitam dihati, yang akhirnya bermuara kelubuk kejahilan.
Lalu dedaunan menyadarkanku, berkongsi dengan  angin memutuskan tangkainya lalu terbang hingga mengusap wajahku, daun bambu yang gemerisik seakan iri pada batangnya sendiri karena batangnya ikut andil menjadi harmoni indah dalam pertunjukan seni malam itu, bahkan seolah ia juga iri kepadaku karena diperbolehkan menatap dunia dan bermimpi, kemudian ia menyelesaikan satu takdirnya sebagai pemudar anganku,daun yang membelaiku menyampaikan pesan kebijaksanaan kepadaku, bahwa aku tak jauh berbeda dengannya, dan mengatakan bahwa kezuhudan memang tak semudah yang dibayangkan.
Harta, tahta dan wanita masih menjadi bumerang bagi pemuda beriman, senjata bagi syaitan untuk bernego dengan penuh logika pembenaran. Aku teringat akan pesan seorang teman, jika seorang pemuda telah jatuh pada telaga cinta, namun takut akan berdosa karenanya, ia bisa memilih mengakhiri kesendiriannya dengan segera menikah, atau memilih menyibukan diri, berkumpul dan mendengarkan kisah orang-orang saleh. Tapi aku, belum memiliki kesanggupan lahir dan batin untuk pilihan pertama, dan untuk pilihan kedua, kenyataannya aku telah terjebak dalam kesendirian dan berangan-angan dipinggir sungai ini.